Cari Blog Ini

Rabu, 24 November 2010

EI

EKONOMI ISLAM:
SISTEM EKONOMI BERMORAL PASCA KAPITALISME
Moch. Yazid Afandi, M.Ag
A. Pendahuluan
Adalah Helmut Schimdt, mantan kanselir Republik Federasi Jerman, pernah menampakkan kegusarannya terhadap perkembangan ekonomi dunia yang ia nyatakan semakin tidak menentu. Ia berujar, “Ekonomi dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa mendatang sama sekali tidak menentu”. Sebuah pandangan pesimis terhadap kondisi perkembangan ekonomi dunia.
Senada dengan mantan Kanselir Jerman tersebut, -namun bertutur ke ranah yang lebih faktual-, Henry Kissinger mencatat, kondisi ekonomi dunia dihantui oleh tingginya tingkat inflasi per tahun, tingginya tingkat suku bunga, fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat, semakin bertambahnya tingkat pengangguran, dan lain-lain. Kondisi ini akan diperparah oleh ancaman kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidak adilan sosio-ekonomi, ketidakmampuan kembali negara-negara ketiga untuk membayar hutang mereka dan resesi eonomi akan menjadi kenyataan pahit yang harus diterima masyarakat dunia. Kissinger seolah-olah ingin mengatakan bahwa, ada ketidak beresan terhadap aktifitas para pelaku ekonomi dunia, hingga melahirkan berbagai macam kondisi faktual yang cenderung menyengsarakan.
Pandangan tersebut menggambarkan sebuah kekhawatiran yang cukup mengejutkan dari salah seorang pemimpin dunia yang tentunya sangat paham dengan arah dan perkembangan ekonomi dunia modern. Dengan sikap dan pernyataan yang ditunjukkan oleh Mantan Kanselir Jerman, dan juga pemikir ekonomi Hanry Kissinger tersebut, sangat wajar jika kemudian muncul sebuah pertanyaan terhadap konsep ekonomi yang dijalankan oleh masyarakat dunia saat ini yang memunculkan sikap pesismisme itu. Hal ini penting untuk diungkap sebagai sebuah upaya untuk mencari jawaban dan alternatif lain, jika sistem ekonomi yang bergerak saat ini berada dalam kondisi yang tidak wajar, atau bahkan akan menjerumuskan umat manusia ke jurang penghancuran (bukan Kehancuran).
Melihat kenyataan di atas, para ahli ekonomi dunia bukan tidak melakukan langkah-langkah kreatif untuk mengantisipasi semakin memburuknya ekonomi Dunia. Mereka mencoba untuk membongkar sesuatu yang mereka anggap “salah” dalam melakukan praktek-praktek ekonomi. Mereka memunculkan simptom–simptom, misalnya; menguji ketidak seimbangan anggaran belanja dan pengeluaran, timbulnya kecenderungan proteksi, menguji efektifitas bantuan asing, kerjasama internasional yang tidak memadai dan lain-lain. Semua upaya tersebut dilakukan atas kesadaran bahwa ada “sesuatu” yang salah dalam praktek ekonomi dunia dan perlu dibenahi untuk mewujudkan tertata rapinya ekonomi ke depan. Kenyataan ini sekaligus menegaskan bahwa dunia telah terancam “krisis” karena ada sesuatui yang salah dalam praktek ekonominya.
Daniel Bell mencatat, bahwa kondisi perekonomia modern di hadapkan pada berbagai dilema perekonomian yang menyebabkan munculnya kondisi perekonomian yang tidak wajar dan berujung pada resesi. Berbagai dilema tersebut berporos pada tiga hal yaitu; kerakusan borjuis, masyarakat demokratis yang tak terkendali dan etos individualistis. Kerakusan borjuis meniscayakan munculnya para pelaku ekonomi yang hanya mementingkan aspek pendapatan kepuasan material yang tiada batas. Agenda “puas dan tidak puas” diukur dari seberapa besar mereka mendapat kuntungan material, dengan menafikan hal-hal mendasar yang dibutuhkan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain. Akhir dari pencarian kepuasan seperti inilah yang dapat menimbulkan berbagai macam eksploitasi dan penindasan oleh si kuat kepada si lemah.
Demokrasi adalah jalan terbaik diantara pilihan yang buruk. Meskipun dalam wacana politik kehadirannya dibutuhkan, namun ia bukan tanpa cacat. Kelemahan demokrasi yang paling mendasar adalah tiadanya jaminan moral terhadap pelakunya. Demokrasi membenarkan kemenangan bagi yang mendapat dukungan kuantitatif terbesar tanpa dibarengi dengan penyaringan kualitas bagi para kompetitornya. Akibat yang ditimbulkan, kemungkinan munculnya seorang pemenang yang kualitas moralnya di bawah standar. Demokrasi yang tak terkendali akan memproduk para pelakunya menjalankan kebijakan tanpa dibarengi dengan landasan moralitas.
Dalam ekonomi modern, - dan ini merupakan core dalam wacana kapitalisme-, borok yang paling mengkhawatirkan adalah sangat dominannya etos individulistis. Etos individualistis mempertahankan paham kebebasan individu dalam mengejar kepentingan dan keuntungan. Kepentingan individu bersifat absolut dan tidak boleh ada intervensi oleh siapapun. Ranah sosial bukan merupakan agenda utama, meskipun sedikit mendapat perhatian. Jika ranah sosial tidak lagi menjadi peetimbangan yang serius, maka akibat yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap persoalan-persoalan sosial.
Gambaran singkat dari pangkal boroknya perekonomian modern di atas, menunjukkan sangat perlunya melakukan kajiaan ulang terhadap landasan praktek ekonomi modern. Di samping itu, berbagai persoalan yang muncul yang menjadi kecemasan para pemerhati ekonomi –sebagaimana yang ditunjukkan oleh Henry Kissinger di atas-, lebih dari sekedar kesalahan dalam pengambilan policy. Rekonstruksi ideologis adalah jalan yang paling tepat untuk mengawali tatanan sistem perekonomian menuju paraktek ekonomi yang berkeadilan.
Berangkat dari sini, langkah-langkah antisipatif yang dilakukan oleh para ahli untuk mengobati semakin buruknya kondisi ekonomi modern tersebut, terlihat sangat dangkal. Dengan langkah tersebut, memang untuk saat tertentu akan dapat mengobati luka yang menganga. Namun untuk jangka panjang masalah tersebut sangat mungkin akan muncul kembali, bahkan mungkin akan lebih besar. Hal ini akibat dari langkah pengobatannya bersifat “kosmetikal”, tidak menyentuh pada persoalan yang mendasar.
Kondisi faktual merosotnya kualitas ekonomi sebagaimana yang dikhawatirkan oleh dua tokoh dunia di atas tidak hanya memerlukan penanganan yang bersifat kosmetikal. Namun diperlukan upaya pembongakaran “ideologi” dari pelaku ekonomi yang mendasari praktek-praktek ekonomi. Diperlukan sebuah koreksi total dari para pelaku ekonomi, agar mereka dalam beraktifitas ekonomi selalu memperhatikan aspek kesehatan sosial yang terpancar dari karakter dan diri pribadi di atas kesadaran para individu. Praktek ekonomi bukan hanya disandarkan pada kepentingan pengumpulan profit semata, namun yang lebih penting dari itu, harus ada transformasi moral dari para pelaku ekonomi, hingga terwujud sebuah interaksi positif yang tidak saling mencelakakan. Dan ada jaminan bagi keberlangsungan kepentingan-kepentingan sosial bagi para pelaku ekonomi.
Masyarakat modern tampaknya menyuguhkan fenomena yang jauh dari prinsip tersebut. Dalam melakukan praktek ekonomi mereka hanya mempertimbangkan aspek pemenuhan material yang bersifat sangat individualistis. Sehingga sebuah keniscayan, jika kemudian muncul sebuah praktek-praktek ekonomi yang bersifat eksploitatif atau bahkan penjajahan dalam bentuk yang lebih halus.
Di sinilah, Islam tampil menawarkan prinsip-prisip dasar yang dapat dijadikan landasan untuk berekonomi. Landasan moral-religius Islam yang menjadi core dalam segala aktifitas perekonomian, merupakan sumbangan emas bagi tertata rapinya perekonimian dunia menuju kondisi yang berkeadilan. Pengakuan hak individu, bagi Islam, tidak secara mutlak, namun pada waktu yang bersamaan, ada hak orang lain yang mesti menjadi perhatian. Keseimbangan antara hak-individu dan hak orang akan menjamin keselaran dan keadilan dalam praktek ekonomi.
Namun demikian, nampaknya hegemoni kapitalisme yang cenderung hedonistik, seolah membenamkan nilai emas yang ditawarkan Islam. Masyarakat dunia sudah terlanjur terkuasai oleh pola pikir kapitalis, sehingga yang menjadi pertimbangan pokok dalam ber-ekonomi adalah semata-mata mencari keuntungan semata, tanpa mempertimbangkan hak orang lain.
Untuk itu, masih diperlukan upaya pemantapan gagasan Ekonomi Islam di tengah-tengah hegemoni kapitalisme. Hal tersebut akan berhasil jika, secara faktual Ekonomi Islam mampu bersaing bahkan mampu menawarkan konsep yang rasional dan aplicable bagi terbenahinya kondisi perekonomian. Tulisan ini mencoba memberikan prinsip-prinsip dasar dan orientasi Ekonomi Islam. Pemaparan tentang etika dan aspek sosial juga akan dilakukan, untuk mempertegas bahwa dalam Islam, praktek Ekonomi dimaknai sebagai pemenuhan terhadap “tugas suci” manusi dari Allah SWT sebagai Khalifatullah fi al-Ardl. Maka dengan mendasarkan nilai-nilai seperti ini, akan menjadikan manusia yang selalu mempertimbangkan kemaslahatan bagi alam sekitar dibanding dengan pengerukan keuntungan semata. Di samping dua hal di atas, dalam tulisan ini juga akan diungkap tentang begitu kuatnya “pemikiran” kapitalisme dalam benak para pelaku ekonomi. Hal ini dirasa penting, mengingat hampir semua orang sepakat bahwa, kapitalisme memberi andil besar bagi memburuknya kondisi perekoniman dunia. Oleh karena itu, perlu adanya tawaran konsep lain sebagai penawar bagi konsep kapitalisme ini. Bagian terakhir dari tulisan ini, diarahkan untuk mengajak pembaca tentang pentingnya memapankan Ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat –yangs secara tidak sadar- terkuasai oleh pola pikir kapitalis.
B. Antara Etos Kerja dan Etika dalam Ekonomi Islam.
Dalam kegiatan ekonomi, etos kerja adalah variabel yang paling dominan untuk menentukan kesuksesan seseorang. Kesuksesan dalam arti dapat memperoleh target-target material yang diinginkan seseorang. Etos kerja merupakan “bahan bakar” seseorang yang akan selalu menyalakan api semangat dalam berusaha. Islam sangat memperhatikan hal tersebut. Islam tidak membiarkan individu-individu menjadi pemalas, dan hidup dalam tanggungan orang lain.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa suatu ketika Nabi SAW kedatangan seorang sahabat Ansor yang meminta-minta, namun kondisi fisiknya terlihat sehat. Kemudian terjadilah percakapan antara Nabi SAW (NB) dan Sahabat Ansor (SA) tersebut;
NB : “Apakah masih ada sesuatu (yang kamu miliki) di rumahmu?”
SA : “Ada ya Rasulallah. Barang yang masih ada hanyalah bekas kain pelana yang sebagian kami pakai dan sebagian lagi untuk tempat duduk, dan satu lahi mangkuk buat minum”.
NB : “Pergilah dan ambil bawa ke sini!”
Lalu lelaki Ansor tersebut berangkat mengambil barang miliknya yang terakhir, kemudian menyerahkannya kepada Nabi SAW. Nabi kemudian mengumpulkan para sahabat, kemudian melelang barang tersebut;
NB SAW. : “ Siapakah yang mau membeli barang ini?”
Shabt lain: “Saya membelinya satu dirham”
NB SAW : “Siapa yang berani melebihinya? (Nabi mengulanginya tiga kali)
Sahabat lain : “saya mau mengambilnya dengan harga dua dirham.”
Kemudian oleh Nabi SAW diberikan barang tersebut kepada sahabat yang menawar tertinggi. Kemudian Nabi SAW menyerahkan uang hasil lelangnya kepada sahabat Ansor, pemilik barang itu, lalu berkata:
“ Separuh uang ini kamu belikan makanan untuk keluargamu di rumah dan separuhnya lagi kamu belikan kampak dan bawalah kepadaku ke sini”.
Sahabat Ansor tersebut segera memenuhi perintah nabi SAW, kemudian dia kembali kepada Nabi membawa kampak yang baru ia beli, kemudian Nabi SAW menyambutnya seraya memegang erat tangannya dan menyerahkan sebatang kayu ke dalam tangannya, sambil bersabda:
“Berangkatlah engakau sekarang mencari dan menebang kayu, lalu juallah. Jangan datang kepadaku dalam waktu lima belas hari”
Kemudian lelaki tersebut pergi ke bukit mencari kayu kemudian menjualnya. Sesudah lewat lima belas hari, dia datang kembali kepada Nabi, dan tangannya menggenggam uang sebanyak sepuluh dirham. Uang tersebut sebagian untuk membeli makanan, sebagian untuk membeli pakaian dan sebagian yang lain disimpan untuk modal selanjutnya. Melihat hal tersebut Nabi SAW berkomentar :
“Perbuatan ini lebih baik bagimu daripada kamu hidup mengemis dan meminta-minta, yang nanti akan menjadi cacat bagi mukamu pada hari kiamat. Sesungguhnya kerja meminta-minta tidaklah dibolehkan, kecuali pada tiga saat yang genting; pada saat kelaparan yang sangat, pada saat punya hutang yang memberatkan atau pada saat membayar denda yang memberatkan”.
Riwayat di atas menunjukkan sebuah cara penanganan Nabi SAW terhadap persoalan kemiskinan yang sarat dengan pelajaran tentang etos kerja bagi manusia yang sebenarnya mampu bekerja. Bahwa Nabi SAW sebagai pemimpin, saat di datangi peminta-minta tidak mau memberi barang yang sifatnya konsumtif. Nabi SAW justru memberikan dorongan untuk dapat melakukan usaha-usaha produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga orang tersebut. Setidaknya fenomena seperti ini mengisaratkan bahwa etos kerja menjadi perhatian serius oleh Islam. Seorang peminta-minta adalah simbol dari orang yang tidak memiliki etos kerja, dan oleh karena itu, Nabi SAW memberikan jalan keluar agar mereka mendapatkan harta tidak dengan cara-cara orang malas bekerja.
Di samping itu, Islam juga tidak membiarkan seseorang sukses secara “membabi buta” tanpa memandang dan memperhatikan aspek etika dalam memperoleh kesuksesan tersebut. Keberhasilan seseorang dalam memperoleh target-target material, harus dibarengi dengan keberhasilan mereka dalam berpegang teguh pada etika. Kegagalan seseorang yang memperoleh kesusksesan dalam berpegang teguh pada aspek etis ini, akan meniscayakan sebuah kesuksesan yang dilalui dengan cara-cara eksploitatif. Maka, antara etos kerja – yang menjadi prasarat tercapainya kesuksesan-, dengan aspek etis –yang menjadi dasar interaksi sehat antar sesama manusia- adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Abdurrahman Azzam meriwayatkan tentang seorang saudagar Islam yang bernama Yunus bin Obaid. Ketika waktu Shalat Tiba, Yunus bin Obaid pergi ke masjid, dan dia menyuruh anak saudaranya untuk menjaga barang dagangannya. Kemudian datang seseorang dari kota yang berkeinginan membeli kain, seraya menanyakan tentang harga kain itu. Kain yang semestinya berharga 200 dirham oleh anak saudara Yunus dijual 400 dirham.
Di tengah jalan Yunus bin Obaid bertemu pembeli kain tersebut dan dia menanyakan harganya. Pembeli kain menjawabya bahwa, kain tersebut dibelinya seharga 400 dirham. Yunus bin obaid terkejut mendengarnya, dan meminta pembeli itu kembali ke tempat ia membelinya. “Harga kain ini tidak melebihi 200 dirham”, kata Yunus bin Obaid. “Tidak apa-apa kain ini saya beli 400 dirham, di tempatku harga kain seperti ini 500 dirham”. Jawab pembeli tersebut. Kemudian Yunus Bin Obaid menimpalinya; “pergilah dan kembalilah, sesungguhnya nasehat dalam agama lebih baik daripada dunia dan seisinya.
Sesampainya di tempat jual beli itu, Yunus bin Obaid mengembalikan 200 dirham kepada pembeli kain tersebut, yang harga sebenarnya hanya 200 dirham. Kemudian Yunus menegur anak saudaranya, dan terjadi percakapan;
Yunus : “Apakah kamu tidak merasa malu? Tidakkah kamu bertakwa kepada Allah? kamu mengambil keuntungan sampai berlipat, dan kamu meninggalkan nasehat dari sesama muslim.”
Anak : “Demi Allah, dia membelinya dan itu atas kerelaan dia sendiri.”
Yunus : “Betul! Namun, apakah kamu senang menjual baginya dengan harga yang kamu sendiri tidak senang untuk dirimu sendiri?”
Riwayat di atas menggambarkan tentang praktek ekonomi yang sangat erat kaitannya dengan etika sosial. Menurut hukum ekonomi an sich, keuntungan berlipat yang didapatkan seseorang dari transaksi sebuah barang-apalagi dari orang yang tidak tahu- adalah sah dan tidak salah. namun, hal tersebut tampak tidak wajar dari sisi etika kemanusiaan.
Dua riwayat di atas cukup dapat dijadikan gambaraan, bahwa Islam sangat memperhatiakn etos kerja yang harus dimiliki oleh seseorang. penanganan Rasulullah terhadap problem seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga seperti disebutkan dalam riwayat di atas, adalah bentuk dorongan ajaran Islam agar seseorang dapat bekerja secara wajar.
C. Nilai Etika dan Sosial dalam Ekonomi Islam
Kehadiran Islam ke dunia ditujukan untuk memenuhi semua tuntutan kehidupan, memerangi kemiskinan dan merealisasikan kemakmuran dalam semua sisi kehidupan. Islam merupakan akidah, ibadah, moral syariat, hukum, keputusan dan perdagangan. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, dalam Islam telah tergariskan sebuah jalan hidup yang sempurna untuk menuju keselamatan dunia dan akhirat, tidak saja menjaga keselamatan individu, namun juga keselamatan masyarakat umum.
Dalam persoalan Ekonomi, ada perbedaan prinsip yang cukup signifikan antara istilah Ekonomi Islam dengan Ekonomi yang lain. Dr. Muhammad bin Abdullah al-Araby mendefinisikan Ekonomi Islam; adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang diambil dari al-Qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang dibangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.
Sedangkan Dr Muhammad Syauki al-Fanjari mendefinisikannya; Ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur praktek-praktek ekonomi yang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dua defenisi tersebut menegaskan bahwa, dalam Ekonomi Islam, ranah religiousity Value menjadi dasar setiap aktifitas dan semua transaksi yang dilakukan. Ia adalah sebuah prinsip umum yang sangat diperlukan bagi pembentukan watak pribadi yang bertanggungjawab dan mengedepankan kejujuran.
Nilai-nilai religiusitas yang menjadi prinsip dasar dalam ekonomi Islam – yang tidak ditemukan dalam sistem ekonomi lainnya-, antara lain; pertama, Ekonomi Islam diyakini sebagai sebuah sistem ekonomi yang digali dari nilai-nilai ketuhanan. Maka, ia mengenal batasan-batasan yang harus dipatuhi umat manusia, yang dikenal dengan istilah halal dan haram. Lebih jauh, batasan halal dan haram ini akan berakibat pada ancaman keselamatan tidak saja di dunia, namun juga di akhirat kelak. Kepatuhan manusia kepada halal dan haram ini juga diyakini sebagai sebuah wujud ketundukan manusia pada Tuhannya. Kualitas ketundukan manusia kepada halal dan haram -yang terletak di semua bentuk aktifitas ekonomi- diyakini akan menjadi jaminan manusia untuk berprilaku jauh dari penyimpangan dan eksploitatif.
Kedua, Islam memandang bahwa, pemilik dari semua sumber daya alam adalah SWT. Berbagai jenis sumber daya tersebut merupakan titipan Allah SWT kepada manusia untuk dikelola secara baik demi kesejahteraan alam dan manusia. Posisi manusia hanya sebatas “yang diserahi/dititipi” bukan sebagai pemilik yang sesungguhnya. Posisi seperti ini dalam terminologi Islam disebut dengan Khalifatullah fil ardl. Maka dengan posisi seperti ini konsep kepemilikan individu dalam Islam tidak mutlak.
Ketiga, Dengan berdasarkan pada pandangan bahwa kepemilikan individu tidak bersifat mutlak, Ekonomi Islam selalu mempertimbangkan keseimbangan kepemilikan individu dan kepentingan sosial. Pengakuan terhadap hak individu dibarengi dengan penegasan adanya hak orang lain yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang telah memenuhi kriteria tertentu. Di sana terbangun sebuah sikap yang memperkuat individu dan haknya dalam kepemilikan, dan pada waktu yang sama juga menumbuhkan perasaan tanggung jawab sosial. Ekonomi Islam meletakkan kepentingan individu sebanding dengan kepentingan masyarakat. Prinsip seperti ini, memberikan keleluasaan individu untuk berkompetisi memperoleh haknya, namun tetap dalam koridor kepentingan masyarakat dengan nilai-nilai universalitasnya.
Keempat, dalam Islam aktifitas ekonomi seseorang diarahkan untuk menjamin keselarasan dan kesejahteraan bersama, bukan untuk menumpuk kekayaan seseorang semata. Prinsip ini meniscayakan dapat tersebarnya harta secara adil dan merata ke segenap masyarakat. Islam mengecam keras terhadap praktek monopoli, penumpukan, dan tersentralnya harta pada seseorang tanpa mempertimbangkan kemerataan harta tersebut.
Kelima, Semua aktifitas manusia harus dibangun di atas orientasi Ta’abud ila-Allah. orientasi ini meniscayakan penafian semua orientasi hidup manusia, kecuali pada Yang Maha Pencipta. Manusia diajari untuk berprilaku bahwa semua yang kasat mata bersifat sementara dan fana’. Dalam kesementaraan inilah maka ia tidak patut untuk dianggap sebagai “yang satu-satunya” yang dapat menyebabkan manusia diperbudak olehnya. Inilah sebuah ajaran yang dahsyat untuk membentuk pribadi yang tangguh dan sekaligus memiliki sensitifitas tinggi terhadap alam sekitar. Demikian juga dalam persoalan ekonomi. Dengan berdasarkan pada prinsip di atas, aktifitas ekonomi manusi dalam Islam diarahkan untuk semata-mata pengabdian pada Allah. Sehingga tidak semestinya jika manusia harus menjadikan materi sebagai dasar dalam beraktifitas.
Di atas lima prinsip itulah Ekonomi Islam dibangun. Berbeda dengan praktek ekonomi lain, praktek ekonomi Islam dipraktekkan dan dikendalikan bukan oleh hasrat dan pengalaman seseorang semata, namun juga dipandu oleh pedoman-pedoman normatif yang diyakini dari Dzat Yang Maha Ghaib. Bahkan panduan normatif ini menjadi instrumen utama dalam menganalisa gejala-gejala perekonomian yang berlaku serta dipakai untuk menentukan arah perjalanan perekonomian ke depan. Dari sinilah ekonomi Islam meniscayakan munculnya sebuah interaksi bisnis yang mengedepankan kebersamaan dan kesejahteraan bersama, hingga dapat mengantarkan masyarakat yang jauh dari eksploitasi dan saling mendzalimi.
D. Problem Kapitalisme dan Upaya Pembumian Ekonomi Islam
Sebagaimana disinggung dalam pendahuluan, cengkeraman kapitalisme menimbulkan banyak masalah sosial yang harus dibayar oleh sistem ini. Persoalan negatif yang ditimbulkan tersebut khususnya berpengaruh pada para pelaku ekonomi. Ambillah misalnya krisis 2001 dengan munculnya kasus Enron di Amerika; yang terjadi adalah krisis kepercayaan disebabkan oleh karena skandal akuntansi dan etika di kalangan manajemen dan profesional (akuntan dan analis) yang mengelola perusahan Amerika tersebut. Mereka ini melakukan kerja sama strategis untuk meraup keuntungan dari sistem yang ada.
William Webster yang telah ditunjuk untuk mengisi jabatan Accounting Oversight Board mengundurkan diri pada 11 November 2002, karena skandal keuangan. Bahkan integritas dan independensi Ketua SEC saat itu, Harvey L Pitt pun diragukan karena kedekatannya dengan industri akuntansi, yang seharusnya menjadi pengawasnya. Keadaan ini menggambarkan bagaimana sistem kapitalis itu sebenarnya sangat rentan dengan hal-hal yang bersifat manusia yang disebabkan oleh hawa nafsu serakah manusia yang sebenarnya dalam ekonomi Islam sudah diatur sedemikian rupa sehingga manusia dan segala keserakahan hawa nafsunya harus tunduk pada kepentingan yang lebih luhur dan lebih kekal bukan kepentinga sesaat atau sepihak.
Sistem kapitalis itu sendiri akan mengulangi kesalahan-kesalahan lama dan terus berulang jika sifat dasar, filosofinya tidak diperbaiki. Sifat dasar kapitalisme memang dari awalnya tidak adil, karena visi dan misinya hanya mengutamakan 'pemilik modal'. Pemilik modal sebagai motor penggerak, inisiator, leader dan otomotis juga sebagai penerima keuntungannya. Pihak lain seperti tenaga kerja, profesional adalah para pelayan yang harus mengikuti apa kata pemilik modal.
Kapitalisme juga mengabaikan aspek transenden, ketuhanan dan hal hal yang bersifat ghaib. Dasar fisolofi rasionalisme sekular inilah yang menimbulkan ketidakseimbangan alam sehingga menimbulkan berbagai krisis yang berkelanjutan. Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy bukan real based economy. Ia didominasi oleh permainan-permainan ekonomi yang tidak riil. Permainan seperti ini hanya akan meniggikan.
Rente ekonomi diperoleh bukan dari melakukan kegiatan investasi produktif tetapi dari investasi spekulatif. Bahaya potensial berikutnya yang akan dihadapi seandainya masih terus mengamalkan sistem kapitalisme ini adalah runtuhnya sistem keuangan. Tanda tanda ini sudah ada sebagaimana angka-angka tentang efek negatif monetary based economy yang dijelaskan oleh keadaan negara-negara maju dan negara berkembang.
Di Negara seperti Jepang, China dam Jerman industri ini semakin mengkhawatirkan. Di Indonesia kita sudah rasakan krisis perbankan 1997 yang telah melahirkan krisis keuangan dan ekonomi yang berkepanjangan. Krisis perbankan ditutupi dengan pembentukan BPPN serta berbagai upaya merger, akuisisi dan lain sebagainya untuk menutupi kesalahan sektor ini. Paling tidak Rp 800 triliun uang rakyat terpaksa disumbangkan (disubsidi) untuk para konglomerat serta para pejabat (sebagai pengambil keputusan) untuk menutupi krisis perbankan ini.
Momentum krisis dengan 'dokter' IMF yang ternyata tidak memberi penyeleseian berarti, seharusnya menyadarkan para pelaku ekonomi untuk mengingat kembali beberapa konsep ekonomi Bung Karno atau Bung Hatta, yang populer disebut Berdikari. Sebuah praktek ekonomi yang mendasarkan pada demokrasi ekonomi, ekonomi kerakyatan dan ekonomi yang bebas dari ketergantungan pada satu kekuatan. Gagasan Bung Karno yang mempopulerkan ekonomi berdikari, jika pada saat yang bersamaan mendasarkan diri pada nilai-nilai lima prinsip –sebagaimana disebut dalam sub bab sebelumnya-, maka sebenarnya itulah core dari Sistem Ekonomi Islam.
Sebenarnya sejak dekade 70-an telah mulai dipraktekkan Ekonomi Islam dan Lembaga Keuangan Islam dalam tatanan dunia Internasional. Kajian Ilmiah tentang Sistem Ekonomi Islam marak menjadi bahan diskusi di kalangan akademisi di berbagai Universitas Islam. Hasil kajian tersebut dalam tataran aplikatif mulai menuai hasilnya dengan didirikan Islamic Development Bank di Jeddah tahun 1975 yang diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam dikawasan Timur Tengah. Hal ini bahkan banyak menggiring asumsi masyarakat bahwa Sistem Ekonomi Islam adalah Bank Islam, padahal Sistem Ekonomi Islam mencakup ekonomi makro, mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, public finance, model pembangunan ekonomi dan instrumen-instrumennya.
Meski diiringi oleh sikap skeptis dari beberapa kalangan, sistem ekonomi Islam telah menampilkan wujudnya yang “beda” dengan sistem ekonomi lainnya. perbedaan yang paling mendasar terletak pada sandaran filosofisnya. Sistem Ekonomi Islam tidak terlepas dari seluruh sistem ajaran Islam secara integral dan komprehensif. Sehingga prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam mengacu pada core ajaran Islam. Kesesuaian Sistem tersebut dengan fitrah manusia tidak bisa terbantahkan. Dengan selalu menjaga keselarasan inilah yang tidak memunculkan benturan-benturan dalam Implementasinya. Kepentingan individu dibuka lebar, namun dalam waktu yang bersamaan individu memiliki kewajiban untuk menjaga kebebasan individu yang lain, dan menjaga kepentingan kolektif. Keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif menjadi pendorong bagi bergeraknya roda perekonomian tanpa merusak sistem sosial yang ada.
Inilah model atau sistem ekonomi Islam yang menunjang terbentuknya masyarakat Adil dan makmur. Pendekatan Islam terhadap sistem ekonomi merupakan sebuah pendekatan terhadap peradaban manusia sebagai satu kesatuan. Pendekatan ini sangat relevan dan amat mendesak untuk diimplementasikan sebagai ganti dari sistem ekonomi yang cenderung banyak menimbulkan konflik. Implementasi sistem ekonomi Islam tidak saja ditopang oleh argumen-argumen normatif, namun juga harus atas kesadaran tuntutan sejarah akan pentingnya menata kondisi dunia yang lebih beradab dengan beralih pada sistem yang memungkinkan untuk tujuan tersebut. Nampaknya upaya impelementasi yang mendasarkan pada tuntutan sejarah inilah yang lebih mudah dikomunikasikan kepada masyarakat.
E. Kesimpulan
Tercerabutnya akar moralitas dari para pelaku ekonomi adalah akibat terparah dari sistem ekonomi kapitalis. Kondisi ini sekaligus menjadi momok yang paling menakutkan bagi perkembangan ekonomi. Para pakar telah mendiskusikan kondisi tersebut sejak awal, ketika mereka merasakan ada sesuatu yang salah dalam sistem ini. Namun yang paling disayangkan, diskusi yang diupayakan untuk memperbaikinya, sangat dangkal dan hanya menawarkan simptom-simptom belaka. Padahal yang diperlukan adalah membongkar landasan filosofis dari sistem tersebut.
Sejak dekade 70-an ekonomi Islam telah banyak diperbincangkan para ahli sebagai salah satu sistem ekonomi alternatif yang ditawarkan untuk mengganti sistem kapitalis. Secara filosofis-ideologis perbedaan yang sangat mendasar dari ekonomi Islam minimal terletak pada lima hal; pertama, Ekonomi Islam diyakini sebagai sebuah sistem ekonomi yang digali dari nilai-nilai ketuhanan yang akan membawa pelaku ekonominya memiliki self control. Kedua, konsep kepemilikan individu yang tidak mutlak. Ketiga, menekankan aspek keseimbangan kepentingan individu dan kolektif. Keempat, adanya kecaman terhadap monopoli dan sentralisasi harta oleh pemodal, kelima, orientasi prilaku ekonomi diarahkan pada kepentingan suci pengabdian pada Allah SWT, yang akan membawa dampak pembentukan karakter kuat dan bermoral bagi para pelaku ekonomi.
Di atas –minimal- lima prinsip makro itulah sistem ekonomi Islam dibangun. Namun demikian, para pelaku ekonomi nampaknya belum begitu banyak melirik sistem ini, terbukti pada era 90-an, saat resesi dunia melanda belahan dunia ini, kapitalisme masih mencekeramnya. Logika-logika kapitalisme masih menjadi cara penyeleseian. Sehingga Ekonomi Islam belum banyak berperan.
Secara filosofis, sebenarnya sistem ini sangat sesuai dengan tuntutan fitrah manusia. Kesesuaian tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal; diantaranya pada penekanan ajaran moral oleh setiap pelaku ekonomi. Sikap yang dicontohkan oleh Yunus bin Obaid yang tidak mau menerima keuntungan berlipat, meski secara hukum sah, adalah menjadi bukti akan posisi moralitaas dalam praktek ekonomi Islam. Keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan kolektif, juga menjadi perhatian yang serius dalam ekonomi Islam.
Implementasi sistem Ekonomi yang mempertimbangkan aspek moralitas, sebenarnya sebuah kebutuhan mendesak ditengah-tengah derasnya hantaman resesi dunia akibat kapitalisme. Upaya tersebut akan lebih efektif jika diwacanakan tidak di bawah ranah normatif belaka. Yang lebih dibutuhkan adalah implementasi cerdas dari sistem ini sebagai sebuah jawaban solutif terhadap kepincangan sistem ekonomi yang telah dan sedang mencengkeram ini. Oleh karena itu, sangat urgen untuk mengimplementasikan sistem ekonomi Islam tidak saja atas nama normatifitas, tapi adanya tuntutan masyarakat dunia untuk membenahi kondisi ekonomi akibat cengkeraman kapitalisme.


Catatan Akhir :

1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus